Dear Teman,
Sabtu ini
(09/08), aku menghadiri talkshow Rangkul Diri, Sembuhkan Luka Masa Kecil
bersama Bunda Ui pemilik akun Instagram @bubu_ui Co-Founder @tigagenerasi dan
dua psikolog muda dari biro psikologi ini. Acara besutan Kido Playdate Semarang
ini diadakan di Maari Resto yang cozy berlokasi di Jalan Ki Mangunsarkoro Semarang.
Acara talkshow
ini dihadiri oleh beberapa komunitas perempuan di Semarang seperti Ibuk-Ibuk
Semarang dan blogger Semarang Gandjel Rel. Di awal acara, Bubu Ui yang ramah
memperkenalkan tentang Tiga Generasi Psychology Centre yang berpusat di Jakarta.
Biro psikologi
yang berdiri sejak 2016 ini juga bekerjasama dengan berbagai perusahaan besar seperti Gojek, Traveloka dan Sea Bank.
Informasi selengkapnya tentang Tiga Generasi ini bisa diintip di webnya
https://www.tigagenerasi.id/.
Apa itu Inner
Child?
Inner child
adalah konsep dalam psikologi yang merujuk pada bagian diri seseorang yang
menyimpan ingatan, emosi, pengalaman masa kecil baik yang positif ataupun
negatif. Konsep ini diperkenalkan oleh Psikolog Swiss, Carl Jung yang meyakini
pola pengasuhan anak di masa kecil akan mempengaruhi sifat dan perilakunya di
masa dewasa. Inner child, hasil dari pengasuhan di masa kecil yang membentuk
kepribadian seseorang saat ini.
Inner child
adalah hasil dari pengalaman masa kecil yang membentuk kepribadian seseorang
saat ini. Inner child dalam bahasa psikologi dapat disebut sebagai ACEs
(adverse childhood experiences). Seiring bertambahnya usia, biasanya seseorang
akan mengalami pertumbuhan, baik secara fisik maupun mental. Namun, terdapat
aspek dalam diri yang tidak ikut tumbuh dewasa dan tetap dipertahankan. Sisi
anak-anak ini disebut sebagai Inner child .
Baca Juga: Kisah Survivor Abuse NPD
Inner child bisa berupa pengalaman negatif atau positif di masa kecil. Jika seseorang
tumbuh dengan kekerasan dan pengabaian, maka bisa timbul luka pengasuhan di
masa kecil yang terbawa hingga dewasa. Sering kita tak sadari bahwa sebenarnya
kita memiliki perasaan atau luka yang belum terselesaikan dari masa kecil.
Luka yang ada
terus ditimpa lagi, lagi dan lagi akan berbekas begitu juga luka hati yang tak
terobati. Luka pengasuhan ini akan membuat kita jadi mati rasa, marah-marah
terus, maka pola asuh kita ke anak-anak akan senantiasa membawa luka itu.
Misalnya, anak menangis karena takut, ibu malah memarahi, mengabaikan atau bahkan berusaha mengalihkan
perhatian anak. Lebih parah lagi, ibu berusaha meremehkan perasaan anak.
"Oh iya,
kamu kesal ya sama sahabatmu yang jahil coba diomongin aku tuh nggak suka
diperlakukan seperti itu,"
Jangan malah
bilang, "Ah kamunya saja terlalu baper, cuekin saja dia!"
Sedih, kan?
Sayangnya, tak
semua orang tua memahami hal ini. Jika anak menangis atau marah malah balik
dimarahi, dibentak atau dianggap enteng. Kadang, jika teman kita cerita juga
ada saja yang menganggap enteng curhatnya, malah adu nasib. Tidak boleh,
pengabaian ini bisa menimbulkan luka batin yang terbawa hingga anak dewasa
kelak.
Baca Juga: Peduli Kesehatan Mental
Setelah itu,
Bunda UI mengajak para peserta untuk menulis di selembar kertas. Jika sedih,
apa yang kamu lakukan? Ternyata, jawabannya beraneka ragam ya. Ada yang kalau
sedih makannya jadi banyak, ada yang memilih tidur. Ada juga yang suka curhat
ke teman. Banyak cara untuk melepaskan perasaan sedih dan gundah.
Seorang peserta,
sambil menangis bercerita kalau ia merindukan kasih sayang ibunya yang
menyayangi anak-anaknya penuh cinta. Ibunya kini telah tiada dan kerinduan itu
terus-menerus menderanya.
Peserta lain,
membagikan kisah saat adiknya lahir. Ia dititipkan di rumah Nenek dan diasuh Nenek. Karena itu, ia sering
merasa terbuang. Sekarang, ia sering tiba-tiba merasa tak suka pada adiknya dan
nggak nyaman berdekatan dengan dia. Setelah menjadi ibu, ia berjanji takkan
mengikuti cara ortunya, memisahkan anak-anak hingga merasa terlantar.
Ada pula yang
berbagi tentang ayahnya yang termasuk strict parent yang tak membiarkan
anak-anaknya berpendapat. Hingga kini, ia sulit mengungkapkan pendapatnya
kepada orang lain.
Baca Juga: 5 Cara Mencintai Diri Sendiri
Peserta lain
bercerita tentang orangtuanya yang broken home karena ayahnya selingkuh. Hingga
dewasa, ia mengaku tidak suka melihat cowok yang bertingkah karena
mengingatkannya pada ayah yang menyakiti ibunya. Di dalam rumah tangga, ia
cenderung mendominasi karena takut diselingkuhi.
Ya, siang itu
perasaan jadi campur-aduk. Beberapa peserta sampai menangis menumpahkan emosi
yang terpendam selama ini. Setiap orang ternyata memiliki ceritanya
masing-masing.
Ingatan-ingatan
masa kecil seperti mendapatkan kekerasan oleh orangtua, pengabaian, dibedakan
dengan saudara lainnya, bisa menjadi luka
batin. Luka yang terus-menerus timbul tanpa diobati akan menimbulkan borok yang
dirasakan hingga kita besar dan hal ini ternyata mempengaruhi diri kita saat
ini dalam bersikap dan berperilaku. Juga bagaimana kita bersikap pada orangtua,
suami dan anak.
Seseorang yang
sering merasa cemas atau takut terhadap hal baru yang belum pernah dicobanya
mungkin memiliki inner child yang terluka akibat pengalaman masa kecil yang
penuh tekanan atau kurang dukungan.
Jadi, sudah tahu kan kenapa kita emosi berkepanjangan?
Mungkin karena
ada luka yang belum sempat terobati. Inilah pentingnya mengenal diri sendiri, mengenali luka, agar
tahu cara mengatasinya, agar bisa disembuhkan. Bersyukur, ada acara ini
sehingga para peserta jadi mengetahui oh ternyata aku punya luka batin? Selama ini,
rasanya baik-baik saja, tapi mengapa kita suka tantrum, mengomel dan lainnya?
Kita yang harus
memahami, mengenali diri sendiri. Apa yang kita sukai? Apa yang kita inginkan?
Apakah kita punya luka pengasuhan? Apakah kita sudah mengenal diri kita dengan
baik? Bagaimana kita tahu cara berkomunikasi dengan orang lain, jika kita tidak
tahu bagaimana berkomunikasi dengan diri sendiri?
Seorang peserta
bertanya, “Saya sadar punya inner child, bagaimana cara saya mengatasinya? kalau sedang burnout, saya sering marah-marah pada anak lalu merasa menyesal, dan menangis minta maaf. Apa yang harus dilakukan? saya takut luka pengasuhan menurun ke anak, anak terluka
hatinya karena sering dimarahi,”
Perasaan itu
valid, Terima lalu cek perasaan itu apakah marah itu timbul karena perilaku anak? atau
karena tertrigger inner child? kalau penyebabnya adalah karena perilaku anak, coba cari cara lebih baik
untuk menenangkan diri saat menghadapi perilaku anak. Tapi, kalau penyebabnya karena inner child,
coba berkonsultasi ke ahlinya yaitu
psikolog.
Menurut Bunda
Ui:
1. Jangan mengulangi kesalahan yang sama,
2. Kenali emosi kita. Setelah tahu emosi
dalam diri, nah apa yang kita inginkan? Apakah ingin pulih atau dibiarkan saja
menumpuk?
3. Mencari cara mengatasinya bisa dengan
berkonsultasi pada ahlinya yaitu psikolog.
4. Berusaha memutus rantai luka pengasuhan.
5. Proses belajar terus-menerus sepanjang
hayat.
Cobalah rutin
latihan relaksasi agar kita bisa memiliki waktu jeda, bisa mengatur perilaku
kita saat sedang tantrum. Kita bisa meminta waktu menyendiri pada anak dan pasangan agar lebih tenang
dan tidak marah-marah berkepanjangan.
Ingatkan dirimu sendiri, perasaanmu valid.
Katakan,"Kamu sudah berusaha menjadi ibu terbaik buat anak
dan menjadi istri yang baik, menjalani tugas rumah tangga setiap hari. Kamu
cukup, tak apa jika ingin menangis, kamu boleh istirahat kalau kamu mau, kamu aman sekarang."
Lalu, peluklah dirimu erat-erat.
maaf kak untuk tulisan bagian atas memanjang melampaui body.
ReplyDelete