“Masih jauhkah, Kaka?”
Lelaki berwajah teduh itu menggeleng,
mengusap keringat di dahinya. “Sa rasa sebentar lagi! Ko sabar ya!” ia menatap
cakrawala.
Matahari kian terbenam. Sinarnya
pun melembut, menghilang diantara lebatnya pepohonan Papua Barat.
Penggagasnya adalah lelaki berwajah teduh bernama Lamek Dowansiba, pemuda kelahiran Kampung Minyambouw, Kabupaten Pegunungan Arfak 33 tahun lalu. Wajah dan perawakannya nampak biasa saja, figur lelaki Papua pada umumnya. Berkulit gelap, berambut keriting masai dan berperawakan tegap.
Tapi, Lamek lelaki istimewa.
Berkat perjuangannya dan teman-teman relawan, sekitar 35 rumah baca sudah
berdiri di Pegunungan Arfak, Papua Barat dalam kurun waktu 5 tahun. Rumah baca
ini tersebar di di Kampung Nuni, Mandopi dan Urondopi Distrik Manokwari Utara.
Kampung Tanah Merah di Distrik Warmare, dan rumah baca di Kabupaten Manokwari
Selatan, Bintuni dan Sorong.
Kalian tentu sudah tahu, betapa
indahnya alam Papua Barat. Bagaimana keindahan sepotong surga di bumi itu tak
berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan dan kemakmuran warganya. Ya,
anak-anak Papua barat memiliki peringkat terburuk dalam hal literasi. Mereka
tidak bersekolah. Bahkan yang sempat mengenyam pendidikan hingga sekolah
menengah pun terkadang tidak bisa baca tulis!
Sebuah fenomena yang membuat pemuda lulusan D3 Akademi Pariwisata Petrus Kafiar di Biak Numfor ini merasa miris dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahirannya. Lamek lahir di sebuah keluarga sederhana namun paham betul pentingnya pendidikan untuk bekal masa depan. Karena itulah, ia bisa melanjutkan pendidikan tinggi dan meraih sarjana muda. Gelar yang jarang dimiliki warga masyarakat kampungnya.
Masa Sekolah Penuh Perjuangan
Lamek kecil berjuang keras
menempuh pendidikan sejak sekolah dasar. Bapaknya yang seorang petani selalu
menyemangati Lamek dan saudara-saudaranya untuk bisa bersekolah tinggi.
Bapaknya paham pentingnya sekolah tinggi. Kalau Lamek mogok sekolah, ia akan
kena pukulan bapaknya.
Saat SD kelas 1, ia bersekolah di
satu-satunya sekolah yang ada di kampungnya. Hanya ada dua guru yang mengajar
puluhan siswa. Ketika SD empat, ia mengikuti orangtuanya pindah rumah.
Tantangan baru pun dihadapinya.
Jarak sekolahnya dari rumah jauh sekali berkilo-kilometer jauhnya. Ia berangkat
sekolah mulai pukul 4 pagi dan tiba di sekolah pukul 7.30. butuh waktu tujuh
jam pulang pergi setiap hari untuk menuntut ilmu!
Mereka yang tadinya berangkat
rombongan, tersisa tiga orang saja yang bisa lulus sekolah termasuk kakaknya.
Mereka tiba di sekolah basah kuyup karena terkena embun semak-semak dan
pepohonan di hutan. Ketika SMP, Lamek melanjutkan di SMP Sowi di Manokwari. Ia
berpisah dari orangtuanya.
Butuh waktu 1 malam 2 hari
berjalan kaki dari kampungnya untuk sampai ke sekolahnya di Manokwari.
Tantangan baru pun dihadapinya. Ia dan kakaknya tinggal menumpang di rumah
pamannya di Manokwari.
Untuk pertama kalinya, Lamek
mengenakan sepatu ke sekolah saat SMP di Manokwari. Itu pun bergantian
mengenakan sepatu yang hanya sepasang itu dengan kakaknya. Begitu juga buku dan
tas, dipakainya bergantian dengan sang kakak.
Saat SMP, Lamek sudah
berinisiatif mengajari anak-anak tetangganya di kampung untuk membaca dan
menulis. Saat libur sekolah, ia pulang ke Kampung Sowi dan mengajari anak-anak
membaca. Agar anak-anak tertarik, ia mengajari mereka di atas pohon! Kegiatan
literasi sudah mendarah daging baginya.
Saat kuliah semester empat, Lamek
aktif di kegiatan organisasi pemuda GMNI Manokwari yang membuka wawasannya. Ia
juga bergabung dengan Komunitas Suka Baca yang didirikan David Pasaribu pada
2015. Bergabung dengan kedua organisasi itu, ia makin menyadari pentingnya
pendidikan untuk masyarakat Papua.
Lamek paham, agar anak dan remaja
kampungnya bisa maju, mereka harus memahami baca tulis terlebih dahulu. Karena
baca tulis adalah bekal untuk memasuki dunia literasi, memahami banyak hal.
Memulai Keajaiban di Kampung
Masiepi
Lulus kuliah, Lamek kembali ke
kampung halaman, Masiepi.
Di tengah keterbatasan, Lamek pun
mendirikan Rumah Baca Tuh Tebej, yang diambil dari bahasa daerah Suku Sough,
yang artinya Bintang. Rumah baca ini ia dirikan di kampungnya, Kampung Masiepi
di Distrik Manokwari Selatan pada 2019.
Konsep rumah baca Lamek adalah
Anak Cerdas, Papua Maju. Ada lima program wajib yang mereka jalankan di rumah
baca ini yaitu mendirikan rumah baca, proses belajar mengajar, perpustakaan
mini, aksi bagi-bagi dan revolusi mental. Dana untuk pendirian rumah baca ini
ia ambil dari kontongnya sendiri dan donasi dari orang-orang yang peduli dengan
masalah literasi di Papua Barat.
Bangunannya sungguh sederhana,
hanya gubuk kecil terbuat dari susunan papan dan beralaskan tanah. Bangkunya
adalah sepotong papan yang diberi empat potong kayu sebagai penyangga untuk
tempat duduk. Lamek menjadi guru dengan bermodal papan tulis dan sebatang
spidol non permanen. Papan kecil itu diletakkan di atas bangku plastik.
Bersahaja. Tapi, ada semangat menggebu-gebu anak-anak Papua Barat di dalamnya.
Sambil mendekatkan anak-anak dan remaja dengan berbagai jenis buku cerita yang ia kumpulkan dari koleksinya dan donasi banyak pihak, Lamek menemukan fakta bahwa banyak anak-anak di kampungnya tak bisa baca tulis. Padahal, ada yang sudah duduk di tahun pertama sekolah menengah pertama.
Ya, bagaimana tidak? Anak-anak jarang masuk sekolah karena keterbatasan pengajar yang bertugas di beberapa sekolah di lebih satu desa. Lamek pun turun tangan. Ia menyisihkan waktu di sela-sela pekerjaannya untuk mengajari anak-anak dan remaja membaca dan menulis. Perlahan, anak-anak melek huruf. Mereka mulai bisa menikmati buku-buku yang disediakan Lamek. Perubahan ini disambut gembira para orangtua di kampungnya.
Herman Saiba, salah seorang relawan rumah baca mengakui situasi banyaknya anak-anak yang tak bisa baca tulis ini. Mereka kebanyakan dicabut dari kelas 1 dan langsung ikut ujian kelulusan SD. Akibatnya, saat duduk di bangku SMP kebanyakan tak bisa baca apalagi menulis dan berhitung. Ia pun kagum dengan kenekadan Lamek dan turut bergabung menjadi relawan pengajar di rumah baca di akhir pekan.
Keajaiban Gotong-Royong, 38
Rumah Baca di Papua Barat
Pemerintah sebagai penyelenggara
pendidikan mestinya berperan besar mencerdaskan anak bangsa di pedalaman Papua
Barat. Tapi, menurut Lamek, pemerintah cenderung lebih mementingkan pembangunan
fisik seperti mendirikan gedung, jalan, dan jembatan. Mereka mengabaikan aspek
pembangunan manusianya. Pemerintah lupa bahwa maju dan mundurnya sebuah negara ditentukan
dari kualitas manusianya.
Kerja keras dan niat mulia Lamek
ini ternyata dihargai oleh banyak pihak. Tak hanya, Herman, teman-temannya dari
berbagai kalangan ikut bergabung menghidupkan rumah baca ini dan menjadi
relawan untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis. Mereka punya visi misi kemanusiaan
yang sama yaitu mencerdaskan anak-anak di pedalaman Papua Barat.
Keberhasilan rumah baca di
kampungnya, membuat orang-orang di kampung lain meminta Lamek untuk mendirikan
rumah baca serupa di tempat lain. Berkat kerja keras dan kolaborasi dengan
banyak pihak yang peduli, tahun 2024 Lamek dan kawan-kawan berhasil mendirikan 38
rumah baca di berbagai penjuru Papua Barat.
Hal ini berkat jejaring sosial orang-orang
yang peduli akan pentingnya pemerataan pendidikan di Papua Barat. Ada sekitar
50 orang relawan yang membantu anak-anak belajar membaca dan menulis di rumah
baca tersebut. Anak-anak yang pernah ia ajari membaca dulu, kini banyak yang berhasil
menjadi sarjana yang akan memajukan Papua.
“Sa pu’ anak su bisa baca dan
tulis. Dia juga su’ berani berbicara. Sa’ senang sekali.” ujar Piet Inyomusi bangga,
orangtua salah satu anak yang belajar di Rumah Baca Tuh Tebej.
Perjuangan Lamek dan kawan-kawan
relawan ini mendapatkan perhatian dari Astra. Ia mendapatkan Satu Indonesia Award
tahun 2021 di bidang pendidikan. Berkat kerja kerasnya menjadi pejuang literasi
di Papua Barat, tahun 2024 Lamek Dowansiba dipercaya rakyat Papua Barat untuk
mewakili mereka sebagai senator di DPD RI. Lamek Dowansiba membawa misi mewujudkan
pendidikan merata untuk anak-anak pedalaman Papua Barat ini ke Jakarta. Semoga
impian besar Lamek terwujud, ya!