Opini Dedew: Mengakrabkan Karya Sastra dengan Anak Zaman Now


“Ada yang tahu NH Dini? Mungkin pernah baca bukunya?” tanyaku pada suatu siang.




Anak-anak SMA terkemuka di Semarang itu berpandangan. Mengangkat bahu. Aku meringis. Serius iki nggak ada yang mengenal NH Dini?
Sastrawati asli Semarang yang menghasilkan puluhan buku dan pada usianya yang ke-82 tahun ini masih menelurkan buku baru, Gunung Ungaran.

Beliau penerima banyak penghargaan bergengsi di dalam dan luar negeri. Mulai dari SEA Write Award dari Pemerintah Thailand, hingga Lifetime Achievement Award Ubud Writers & Readers Festival 2017.

Wajah melongo yang sama ketika kutanyakan tentang sastrawan legendaris lainnya. Seperti Ahmad Tohari, Helvy Tiana Rosa, dan Sapardi Joko Damono. Ada yang mengangguk ketika aku bertanya tentang Chairil Anwar. Ternyata, mereka familiar dengan film Ada Apa dengan Cinta.

Ya, anak sekarang kurang kenal NH Dini, Hamka, A.A. Navis, Pramoedya Ananta Toer dan sederet sastrawan ternama Indonesia lainnya. Jangankan membaca karyanya, namanya saja anak-anak kurang familiar.

Jangan salahkan mereka, salahkan kita yang tak pernah mengajak mereka membaca karya-karya mereka yang menyentuh kalbu. Hal ini berlangsung turun-temurun di banyak generasi. Tak kenal maka tak sayang.

Aku teringat, mengenal puisi Chairil Anwar karena dikutip di buku teks pelajaran. Begitu pula novel Harimau! Harimau karya Mochtar Lubis. Ada sinopsisnya di buku teks. Kita hanya mengenal sebatas apa yang ditulis di buku teks. Tidak membaca bukunya secara keseluruhan. Apakah kini situasinya berubah? Ternyata sama saja.

Tragedi Nol Buku yang diungkapkan Sastrawan Bapak Taufik Ismail beberapa waktu lalu benar-benar meresahkan. Ketika negara lain memiliki daftar buku wajib untuk anak sekolah, buku untuk dibaca, ditulis laporannya dan didiskusikan, kita nol buku! Kita tak punya bacaan wajib untuk kita baca dan pelajari bersama-sama.

Padahal tulisan karya sastrawan kita bermutu tinggi. Tak kalah dengan kualitas sastrawan luar negeri. Dalam metode pengajaran seorang guru Charlotte Mason, anak-anak diajak membaca buku yang ada dalam list living book yaitu daftar buku sastra yang wajib dibaca anak-anak untuk mengasah kepekaan dan kehalusan budi mereka.

Menurut metode ini, anak diajak slow reading lalu berusaha menceritakan kembali kisah yang mereka baca, baik lisan ataupun lewat tulisan. Tujuannya untuk menangkap makna bacaan dan agar terbiasa dengan tata bahasa dan cerita indah dalam buku-buku tersebut.

Agar lebih akrab dengan karya sastra yang sedang dibahas, anak-anak diperkenalkan dengan penulisnya. Diceritakan latar belakang kehidupan penulisnya.

Living Books berisi daftar buku sastra yang sebaiknya dibaca anak, kebanyakan buku klasik diantaranya buku Black Beauty, Little House on The Prairie, Charlotte’s Web, dan lainnya. Buku-buku ini mengajarkan banyak hal mulai dari kesetiaan, keberanian dan banyak lagi hal baik. Sedangkan kita? Buku apa yang sudah kita baca dan pelajari?

Tak heran, kita mendapat peringkat 60 dari 61 negara di dunia soal minat baca dalam penelitian yang diadakan Central Connecticut State University pada Tahun 2016.



Mungkinkah peringkat buncit dalam minat baca yang membuat bangsa kita kini berkutat dengan berita-berita hoax dan debat kusir tentang berbagai hal sepele. Jangan-jangan itulah efek samping karena kita malas membaca?

Mengapa kita harus membaca karya sastra? Ya, karena sastra sangat berpengaruh pada jiwa. Membaca buku sastra yang bermutu menghaluskan perasaan, menumbuhkan perasaan empati pada sesama, mengembangkan imajinasi. Menumbuhkan sifat-sifat terbaik pada manusia.

Aku masih teringat betapa terkesannya aku membaca cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis dan sajak-sajak Taufik Ismail yang menyentuh. Betapa banyaknya karya memukau yang bisa dinikmati anak-anak sekolah. Sayang tak terjamah oleh mereka.

Saat menonton film atau membaca novel luar negeri, aku selalu terpesona adegan bagaimana anak-anak sekolah membahas sebuah buku di kelas. Seorang guru memberikan tugas membaca suatu buku lalu mereka diskusikan bersama-sama.



Mulai dari tokohnya, konflik, bagaimana pandangan masing-masing anak terhadap tokoh dan kisah dalam buku itu. Tak ada pendapat yang benar atau salah. Semua anak boleh berpendapat tentang buku itu. Setelah didiskusikan, mereka harus menulis esai tentang buku tersebut. Duhai, sungguh iri!
Jika ingin nilai bagus, mereka harus membaca buku yang ditugaskan secara keseluruhan dan menuliskan esainya. Ya, menumbuhkan kebiasaan baik perlu sedikit paksaan, bukan? Awalnya terpaksa membaca buku demi dapat nilai bagus, akhirnya jadi gemar membaca.



Bagus sekali jika Indonesia memiliki bacaan wajib untuk siswa SD-SMA. Pemerintah bisa mengeluarkan daftar buku wajib baca untuk seluruh siswa SD-SMA. Tidak perlu banyak-banyak jumlah bukunya. Isinya disesuaikan dengan usia dan tingkat pemahaman anak pada umumnya.

Misalnya untuk siswa SD, diajak membaca buku Orang-Orang Tercinta karya Sukanto SA, bapaknya Majalah Kuncung. Atau buku Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto juga menarik.

Apalagi kini sedang digalakkan gerakan literasi sekolah. Rasanya, gerakan literasi nasional akan lebih bergema jika kita galakkan membaca karya sastra.

Buku-buku wajib baca disediakan dari Kemdikbud untuk perpustakaan sekolah dan bisa dipinjamkan ke anak didik dengan mudah. Atau anak-anak dibagikan e-booknya. Maka gerakan literasi akan semakin bernyawa.

Anak-anak akan mendapat banyak pelajaran berharga dari karya sastrawan Indonesia yang indah. Mereka akan suka membaca, menulis dan terbiasa menyuarakan pendapatnya. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui bukan? Takkan ada lagi kening berkerut ketika disebut nama Andrea Hirata, Budi Darma dan sastrawan Indonesia lainnya.

Dimuat di Rubrik Opini
Harian Tribun Jateng, April 2018


Dewi Rieka

Seorang penulis buku, blogger dan suka berbagi ilmu menulis di Ruang Aksara

6 Comments

  1. Aku juga tahunya NH dini dan andrea hirata aja hihi

    ReplyDelete
  2. Prihatin ya, mbak Dew. Kelas literasi yang diadakan di sekolah ternyata tidak berpengaruh terhadap minat baca anak.

    ReplyDelete
  3. Mba aku nggak asing sana eyang NH Dini kok, hahaa

    Yang masih aku ingat karyanya dan ku baca sampe hapal itu yg
    Keberangkatan
    Itu bagus.
    Itu dulu jaman masih SMA bacanya hehe

    ReplyDelete
  4. Iya ya mba..anak2 sekarang memang makin jarang membaca buku2 sastra... Terlena dengan teknologi, lebih senang scroll medsos di kala senggang. Itu yang anak2 usia remaja.

    Yang anak2 kecil...lebih tertarik minecraft atau mobile legend daripada mbaca bobo, lima sekawan...

    Majalah/fiksi yang ringan saja kurang menarik bagi mereka, apalagi karya2 orang jaman dulu...

    Keprihatin saya juga ini mba.

    ReplyDelete
  5. Dulu kita Sd wajib baca dan nulis review ya. Kurang tau Sd sekarang. Btw, selamag makdew, produktif euy, aku dah lama gak kirim tulisan hehehe

    ReplyDelete
  6. Mungkin juga karena di pelajaran Bahasa Indonesia sudah padat dengan materi-materi wajib dalam silabus yang harus disampaikan sesuai tuntutan kurikulum wajib dari Dinas.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post