Food Street, Keakraban Yang Ngangeni



Dear Temans,

            Walau mengundang protes keras dari Mama yang penggemar healthy food, saya bergeming. Yup, Saya termasuk penggemar wisata kuliner. Tak terkecuali,  food street alias makanan kaki lima. Kebiasaan yang bikin Mama bergidik.
            “Ih, semuanya kok masuk perut,” kata Mama dengan tampang mual melihat saya makan soto ceker.
Aku cengengesan.
Ya, Mama saya, orangnya higienis. Ia tak bisa makan sembarangan. Jangankan nongkrong di kaki lima, masuk ke rumah makan yang mejanya kotor atau bahkan dindingnya agak kusam pun selera makannya langsung lenyap. Makanya, Mama tak bisa makan di restoran vintage seperti di Semarang. Kumuh, menurutnya hihi. Padahal, restoran itu terkenal  hingga mancanegara.
            Hobi wisata kuliner saya tersalurkan ketika masih berkantor di Jl. Jendral Sudirman, Jakarta. Untuk makan siang, biasanya saya dan teman-teman makan di kantin gedung perkantoran. Kantinnya ala food court dengan berbagai macam gerai. Lumayan mahal. Nah, kalau pulang kantor. Inilah saatnya saya menikmati makanan rakyat,  food street! Yeeay!
           
Menikmati Suasana

          Pukul lima sore, waktu segenap makhluk kantoran bubaran. Biasanya, macet sekali tuh. Bus kota yang saya naiki untuk pulang ke kos saya di Benhil penuh. Mau pulang cepat pun, kos  sepi. Malas, ah. Nah, sambil menunggu macet hour selesai, saya dan beberapa teman seperjuangan pun nongkrong di kaki lima. Berwisata kuliner murah-meriah.
            Letaknya tak jauh dari kantor saya. Dan strategis, persis di tikungan jalan utama. Disitu, ada beberapa gerobak mangkal mulai dari gerobak bakso, siomay, gorengan, soto hingga pempek. Ada gerobak penjual minuman juga. Komplet lah.
            Jangan salah, walau kantornya terletak di bilangan hip Jakarta, pedagang kaki lima tetap eksis dong. Pelanggannya pun dari penghuni gedung-gedung tinggi ini. Alias orang kantoran yang berkemeja rapi plus dasi dan blazer yang modis. Tak ada bangku. Jadilah, tembok beton yang berfungsi pembatas jadi sasaran bokong kami. Menjadi bangku warung terpanjang.
            Suasananya asyik. Sore yang hangat. Kemacetan persis di depan mata. Mobil dan motor berjalan bak siput. Tapi, kami enjoy. Walaupun, debu dan asap knalpot mencemari makanan dan muka kami, hehe.
            Makan sambil mengobrol dan cekikikan dengan teman-teman. Kadang, saling lirik dengan makhluk kantor sebelah yang kiyut, hihihi. Lagi ngirit juga ya, Mas? Bagi nomer HP duoong! Punya akun Twitter? Haha. Kami santai menikmati hidangan sore setelah penatnya bekerja seharian.
            

Lebih Horor dari Film Hantu!

           Ketika muncul berita-berita horor seputar makanan di kaki lima, salah satunya dalam acara reportase sebuah stasiun TV swasta. Kami agak mengerem kebiasaan jadi food street hunter. Waduh, ternyata, bahayanya nggak hanya MSG saja.
            Saya benar-benar bergidik ketika menonton salah satu episode acara itu. Isinya, bakso yang terbuat dari daging tikus! Ditunjukkan dengan gamblang bagaimana cara pengolahan daging tikus menjadi bakso. Yaiiiik, seram nian!  
            Keesokan harinya, saya membaca liputan majalah, kalau es batu yang sering digunakan para pedagang itu, berasal dari es balok yang airnya diambil dari kali Ciliwung. Berenang di Ciliwung saja sepertinya kita langsung kolaps saking kotornya, apalagi minum airnya yaa? Mantaap!
            Oh, my! Dan memperparah cerita horor siang bolong itu, sebuah majalah wanita juga membuat liputan tentang siomay abang-abang kesukaan saya. Astaghfirullah, siomaynya dibuat dari daging ikan sapu-sapu! Membaca siomay terbuat dari daging ikan yang hobi mengepel dan tinggal di tempat kotor itu saja sudah geli. Makanan ikan sapu-sapu ternyata sampah dan kotoran lain. Eww.
            Proses pembuatannya pun menakutkan. Di sebuah tempat di Jakarta Utara, ikan sapu-sapu ditangkap di perairan yang banyak sampahnya. Kemudian digiling di tempat luar biasa kotor. Daging inilah yang dibeli para pedagang kaki limadi Jakarta untuk bahan baku dagangan mereka. Hoeks! 
            Dan, kejadian berikutnya lebih mengerikan lagi. Karena terjadi di depan mata. Ketika sedang asyik menikmati siomay, seorang teman mengigit sesuatu yang keras. Ketika ia keluarkan benda asing dari mulutnya, anda bisa menebak? Huaaa, kami langsung menjerit-jerit. Eng, ing, eng..sebuah paku payung berkarat! Hampir tertelan! Sangar!
            Sejak itu, wisata kuliner kami di food street pun kami rem dikiit. Kami pilih-pilih gerobak kaki limanya. Kebersihannya makanan. Terus, kenalan dulu, sama pedagangnya. Hehe. Pokoknya, pemeriksaan menyeluruh deh sebelum makan. Seperti yumminya mie kocok buatan Mang Dirman ini lolos uji. Dengan mie kuah panas, toge, daging sapi bertulang, kaki sapi dan telor rebus. Aahh, bikin kangen gila! Kangen suasananya yang akrab dan gayeng. Oase di tengah belantara Jakarta yang konon tak ramah. 
            
mie kocok yummiii..
Coba Ya, Food Street Kita...

          Ahh, Jadi berkhayal seandainya food street di Indonesia senyaman dan sebersih di Singapura, ya. Di Singapura, pedagang kaki lima dikumpulkan dalam satu bagian semacam foodcourt. Namun, biaya sewanya tidak mahal sehingga harga makanannya tetap terjangkau.
            Menunya beragam, apa saja ada. Mulai dari sate, sea food hingga masakan Kari India. Membuat pengunjung ketagihan untuk kembali lagi, dan lagi. Termasuk para wisatawan asing.
            Orang Singapura sangat peduli dengan rasa serta kebersihan makanan mereka (mamaku banget nih, hehe). Restoran yang makanannya kurang enak dan kurang bersih, langsung bye-bye. Tutup lapak dalam bilangan waktu singkat.   
            Kebersihan terjamin. Makanan terbuat dari bahan berkualitas pula. Semuanya diawasi dan dijamin oleh tiga badan pemerintah Singapura, antara lain The National Environment Agency (NEA), The parent Ministry of the Environment and Water Resources (MEWR), serta Housing and Development Board (HDB). Wow. Serius sekali ya pemerintah Singapura mengelola pedagang kaki limanya, ya.
            Jadi, Lidah pengunjung dimanjakan berbagai hidangan lezat. Dan dijamin tidak bakal diare setelah menyantapnya. Gawat kan, maksud hati ingin wisata kuliner tapi  berakhir di rumah sakit? Fatal!
            Iyaa, walaupun hidangannya terdengar eksotis dan lucu. Tak mau deh merasakan pengalaman menyantap menu ekstrim ala Fear Factor. Tahu goreng minyak campur kantong kresek, bakso tikus dan teh manis dengan es batu made in air butek Kali Ciliwung? *pingsan!  
            
 Mimpikuu....

       Jadi, impian saya sederhana, Pemerintah Indonesia merangkul pedagang kaki lima. Menjadi pembina mereka dengan memberikan tempat strategis, sewa terjangkau, pengecekan makanan bahkan pendampingan wirausaha. Jangan hanya gemar main gusur dan mengejar-ngejar mereka bak teroris. Karena walaupun pedagang kecil, mereka ini menyumbang pemasukan cukup besar bagi negara kita. Mereka juga mandiri.
            Apalagi, food street jika dikelola dengan baik, berpotensi bisa menjadi salah satu aset wisata menarik bagi wisatawan lokal maupun asing. Contohnya ya hawker street Singapura. Juga Kota Bogor yang terkenal dengan wisata kulinernya yang menggiurkan.
            Kenapa? Kebanyakan pedagang kaki lima menjual makanan tradisional seperti bakso, soto, ketoprak, rujak, dan lainnya. Membuat siapapun tergiur. Apalagi wisatawan asing, mereka ingin mencicipi makanan khas di negeri orang. Juga merasakan suasana yang berbeda.
            Karena itu, banyak yang berpendapat pedagang kaki lima adalah aset kebudayaan bangsa. Tak heran, kalau pada bulan Juni nanti, akan diadakan World Street Food Congress 2013 di Singapura. Wow, banget kan? Masa kita tidak mencicipi food street lokal lebih dulu sebelum bertolak ke negeri jiran? Tapi, kalau ada kekhawatiran akan mencicipi borax, kantong kresek, daging tikus, air comberan, seperti cerita horor diatas gimana? Nggak banget, kan!
            
Ngangeni Pol!

          Ya makanan kaki lima. Tak hanya melulu tentang makanan. Ada sensasi tersendiri, hang out di pinggir jalan. Sambill menyantap makanan, menikmati suasana sekeliling dan bercanda dengan kawan.
Bahkan mengobrol dengan orang tak dikenal sesama pengunjung, berinteraksi dengan abang penjual makanan yang ramah dan senang gojeg, Suasana sore dengan hiruk-pikuk di sekeliling kita. Memantik banyak ide-ide segar untuk dituangkan ke dalam bentuk lukisan, tulisan, foto, apapun. It's priceless.
            Ya, tak hanya makanan. Tapi, melemparkan saya ke belakang, bertahun-tahun silam. Jaman ketika saya masih unyu. Betapa kangen pada suasana warung angkringan Yogya yang sederhana namun akrab dan ngangeni. Dengan penjualnya, Pak Maslan yang telah sepuh, yang menyapa kami dengan nama masing-masing. Angkringan yang diakrabi saat mencari ilmu. Tujuan utama ketika sakit bokek akut melanda anak kos.
            Nongkrong di food street membuat kita membumi. Jadi manusia yang berinteraksi dengan manusia lain tanpa penyekat tak penting seperti status pernikahan, status ekonomi, dan pekerjaan. Juga tanpa gangguan gadget canggih karena takut dicopet, hehe. Keakraban yang ngangeni

Sumber Foto: Ratih Wulansari 

Dedew
www.semarangcoret.com 
Dewi Rieka

Seorang penulis buku, blogger dan suka berbagi ilmu menulis di Ruang Aksara

Post a Comment

Previous Post Next Post