Efek Media Sosial Terhadap Sikap Over Consumption Perempuan

Dear Teman,

Beberapa waktu lalu, aku memutuskan rehat sejenak dari kerjaan ngeblog dan printilannya. Kegiatanku di rumah pun akhirnya hanya scroll-scroll medsos Instagram, Twitter dan Tiktok. Saat ini, Bulan Desember artinya sebentar lagi natal dan liburan sekolah. Waktunya berbelanja karena hari Ray dan banyak sale akhir tahun. Tak heran, di medsosku wara-wiri video unboxing kalender advent yang berupa kotak cantik berisi printilan produk dari sebuah brand

Efek Media Sosial Terhadap Sikap Over Consumption Perempuan

Terus, banyak video berbelanja dan menata rumah saat liburan. Belum lagi, video influencer berbelanja di supermarket, video unboxing book mail berupa buku-buku baru yang dipesan online, video ASMR mengisi toples dan lainnya. Anehnya, banyak juga berseliweran unboxing tas bermerek high end di berandaku! Haha, mantap kali algoritmanya ya. 

Nah, beberapa waktu lalu aku sering menulis tentang gaya hidup minimalis dan hobi decluttering setelah renovasi rumah tahun lalu. Tapi, disuguhi berbagai video pendek tentang barang ini itu ternyata cukup menggoda iman yaa. Haha.

Aku yang sudah mengurangi belanja online dan belanja barang-barang yang dirasa kurang penting mengapa mendadak tergoda? Ih, Novelnya seru kayaknya! Jadi deh ikut jastip di BBW Semarang. Terus, ada hotwheels eh kayaknya ini lucu deh buat Alde! Ada produk skincare remaja baru, kepikiran Nailah kayaknya bakal senang deh dikasih lipbalm ini. Hadeh, gimana ini? Nggak bahaya, tah? Haha.  

Begini deh, kalau punya sedikit uang di rekening dan punya e-banking rasanya tangan gatal mau pencet-pencet transfer buat bayar belanjaan online. Belum lagi, kadang terbersit rasa iri pada influencer-influencer di medsos yang modis dan sibuk belanja sana-sini, traveling sana-sini menghabiskan uangnya. Nah lho, kenapa jadi kurang bersyukur?

Efek Media Sosial Terhadap Sikap Over Consumption Perempuan

Padahal, kalau dipikir-pikir, buat apa sih barang-barang printilan Harry Potter untukku? Walaupun aku penggemar Harry Potter, rasanya aku tak membutuhkan barang-barang sihir Hogwarts dipajang di rumahku. Terus, aku tak membutuhkan lima kantong besar permen dan cokelat untuk mengisi kulkasku. Bisa gawat, anak-anak bakal menghabiskannya dalam hitungan jam saja. Buat apa tas Lady Dior dan kosmetiknya buatku? Sumpah, lipstiknya cantik banget warnanya tapi harganya juga cantik katanya sekitar 500-750 ribu per buah. Ya, membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan namanya over consumption alias boros.

Hmm, ternyata daku manusia biasa yaa. Yang punya banyak keinginan, haha. Baru terpapar media sosial saja langsung tergoda. Media sosial benar-benar menggoda iman kita untuk berbelanja dan konsumtif. Beberapa waktu lalu, aku membuat artikel tentang rentannya remaja stres saat ini karena salah satunya adalah efek media sosial.

Ya, glamornya kehidupan orang di media sosial kadang membuat kita merasa tertinggal. Pencapaian orang-orang begitu hebat, tapi kita kok gini-gini saja? Nggak kebeli tas dan sepatu keren kayak si A di Instagram? Nggak bisa jalan-jalan ke Korsel kayak si B di Tiktok! Huhu malangnya nasibku. Kita jadi merasa orang termiskin di dunia, haha.

Efek Media Sosial Terhadap Sikap Over Consumption Perempuan

Normalnya sih, kalau kita tak bisa beli barang A, nggak bisa ikut nonton konser artis B, karena sadar nggak ada dananya ya sudah. Lupakan, dan lanjutkan hidup. Beda masalah kalau kita jadi memaksakan diri memenuhi keinginan kita dengan segala cara. Menjual cincin emas karena ingin beli tas cantik di mal, menilep uang UKT yang dikasih ortu, bahkan banyak yang nekad berhutang di pinjol. Pernah dengar kabar soal pembeli Iphone anyar pertama di Indonesia ternyata beli ponselnya dengan berhutang sana-sini demi gengsi? Hiks. 

Karena medsos, kita jadi ingin bergaya mewah yang tak sesuai keadaan kita demi feed IG, demi pengakuan ke teman-teman sebaya. Hiks. Demi diterima kawan tongkrongan atau circle ini itu. Namanya kita memaksakan diri, lama-lama kita stres sendiri entah karena tak bisa mengimbangi gaya hidup teman tongkrongan atau dikejar-kejar hutang. 

Padahal, namanya saja influencer macam Fuji dan Fadly anaknya Pak Haji ya mereka dibayar untuk menggunakan barang itu, untuk berbelanja banyak barang dan mengulasnya biar orang pada tertarik beli. Mereka dibayar untuk pamer di medsos. 

Sama kayak kita para blogger. Bedanya haya media saja. Jadi, jangan samakan gaya hidup kalian, jangan ikuti gaya hidup influencer di media sosial jika kita tak mampu ya, Girls. Influencer berbelanja untuk dapat uang yang lebih banyak lagi. Nah kita? Kita berbelanja ya buat kita sendiri. Kalau bokek dan jatuh miskin, akibatnya ya kita sendiri yang merasakan pahitnya, huhu.

Lagipula, tak semua yang kita lihat di media sosial itu nyata. Sebagai blogger, kita tahu betul itu karena kita juga kerja di bidang yang sama. Hehe. Kita hanya menampilkan hal-hal yang positif di depan kamera. Sedangkan pahitnya kita tangisi sendiri. Iya khaan? Banyak kabar beredar kan ternyata para sosialita di medsos itu akhirnya suaminya diciduk karena korupsi. Seram, kan?

Fenomena over consumption ini ternyata menimbulkan keresahan banyak pengguna media sosial. Beberapa waktu lalu, ada influencer Amrik di Tiktok yang dikritik karena mencontohkan perilaku over consumption di akunnya. Postingannya selalu menunjukkan ia membeli banyak barang untuk dia dan keluarganya. 

Si influencer membela diri bahwa ia pernah hidup susah dan tak mau hal itu terulang lagi pada anak-anaknya jadi ia berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan berbelanja apapun yang anak-anaknya butuhkan.

Tanpa sadar, kita jadi meniru para seleb dan influencer membeli banyak barang baik kosmetik, skincare, tas dan sepatu bahkan tumbler. Kegiatan mengoleksi jadi hal yang wajar. Padahal, untuk apa kita memiliki dua puluh jenis lipstik dan lipbalm? Untuk apa mengoleksi tiga puluh botol parfum? Membeli belasan jenis produk skincare? 

Efek Media Sosial Terhadap Sikap Over Consumption Perempuan

Ya, berbelanja memang bikin happy tapi efek bahagianya biasanya hanya sesaat saja saat kita rasakan yaitu saat awal-awal membeli dan memiliki barang tersebut. Perusahaan pemilik brand memang menyuguhkan hal-hal yang indah biar kita tergiur dan membeli produknya salah satunya ya mengendors para seleb dan influencer. 

Setelah itu, biasanya perasaan kita biasa-biasa saja pada barang itu. Bagaimana kalau ternyata kita tidak membutuhkan semua barang yang kita beli karena impulsif itu? Waduh, jadi tumpukan barang di sudut rumah dong. Rumah jadi penuh sesak dengan barang tak terpakai, hiks. Uang juga sudah melayang pergi. Jadi, belilah barang yang kita butuhkan. Bukan barang yang kita inginkan. 

Ya, ternyata efek media sosial terhadap perilaku konsumtif kita besar ya. Godaan media massa dan media sosial tak ada habisnya. Kita bakal dihasut untuk menggunakan berbagai jenis produk kosmetik dan skincare yang kian beragam. Padahal, wajah cantik kita tak membutuhkan sebanyak itu. 

Kita jadi membeli barang-barang lucu yang tak kita butuhkan. Influencer makin tajir, kita terlilit hutang pinjol, huhu seram. Sekarang, mantraku jika ngiler dengan barang-barang lucu di medsos adalah: Kau tak membutuhkan barang itu. Kau tak butuh photocard Jennie Blackpink, kau tak butuh tas itu, kau sudah punya setumpuk tas yang berdebu di rumah! Haha.

So, beli barang yang kau butuhkan, bukan karena kau inginkan. Cara mengetes kita butuh atau mupeng saja, ketika akan membeli barang tunda beberapa hari. JIka ternyata kita lupa atau tak merasa ingin lagi, berarti ya kita tak butuh barang itu. 

Selanjutnya, kurangi waktumu berselancar di media sosial. Lebih baik kita fokus di kehidupan nyata kita yang sibuk. Hiduplah dan jalani hidup saat ini, mindfullness ya kata para praktisi kesehatan mental. 

Kurang-kurangi kepo dengan kehidupan artis dan seleb kurangi kepo dengan kehidupan teman kita si A dan si B yang nampak seru di media sosial. Rasanya, hal ini akan mengurangi sifat konsumtif kita yang mendadak kumat kalau terpapar barang-barang lucu di media sosial para seleb dan influencer, haha. 

Sumber Foto: Pixabay.com

 

Dewi Rieka

Seorang penulis buku, blogger dan suka berbagi ilmu menulis di Ruang Aksara

15 Comments

  1. Bener banget, kak, medsos, pengaruh tokoh publik, bisa bikin pola belanja meningkat kwkw apalagi punya aplikasi belanja plus mobile banking. Gajian pemgen cpet belanja,hahaha

    Aku sih jarang tergiur kallo liat video atau sosmed soal belanja atau hal lain. Tp lebh gampang tergiur kalo liat diskon pas buka apk belanja kwkwkw

    Harus nisa memilah kebutuhan pokok dripada hanya keinginan belanja

    Nice banget kak artikelnya

    ReplyDelete
  2. Kalo aku, biasanya maksimalin fitur yang bernama WISHLIST, hahaha.
    Jadi kalo ngebet, ga mau dimasukin ke keranjang, tapi ke wishlist dulu. Abis itu diemin aja dulu dah..
    Biasanya, kalo momennya udah beda, nanti emosinya juga beda. Biar kita utamain kebutuhan juga, bukan keinginan.

    ReplyDelete
  3. bener banget mba dewi..klo liat barang2 berseliweran di beranda memang kadang bikin mupeng..tp untungnya sekarang dh bisa sedikit ngerem,,,dipikir2 dulu nie barang bener2 aku butuh kan gak ya..aku dh punya barang seperti ini belum yaaa...sambil berdoa semoga iman kuat menahan berbagai godaan hehehe

    ReplyDelete
  4. Kalo saya bermedsos sekalian buat promosi barang dagangan, Mbak😄
    Tapi emang iklan terutama di medsos makin ngeri ya. Influencer pake barang branded lalu banyak yg pengen. Padahal duitnya cekak. Akhirnya pake p**l*er. Ngeri kali...

    ReplyDelete
  5. media sosial emang sangat berpengaruh ya kak, beneran jadi belanja bukan karena kebutuhan tapi karena keinginan. Aplaagi terkadang barang yang dijual menjadi solusi dipermasalahan kehidupan kita sehari hari. makin gawat lagi dong ya

    ReplyDelete
  6. Sepakat banget. Sejak mengenal gaya hidup minimalis saya mulai mencoba memastikan pembelian-pembelian yang saya lakukan punya alasan, bukan sekadar beli karena penasaran, ada diskon, atau beli karena sekadar ingin beli. Ternyata dengan begitu hidup jadi lebih nyaman.

    ReplyDelete
  7. Naaah aku gitu mba. Kalo ada yg dimaui, simpen dulu dlm keranjang, ga LGS aku beli. Tunggu Bbrp hari, malah kdg hitungan bulan. Msh banyak nih barang2 di keranjang yg blm aku checkout, Krn ternyata memang ga butuh.

    Tapi makin kesini, aku makin bisa ngontrol keinginan sih. Ga kayak dulu yg impulsif banget..mungkin udh sadar juga kalo semua itu hanya bikin numpuk barang di rumah. Dan aku ga suka barang numpuk. Stress liatnya 😂

    ReplyDelete
  8. udah lama aku declutering akun belanjaan di sosmed mbak, tentu aja harapannya biar ga belanja belanja terus..Kalau sekiranya mau beli produk dari brand yang aku mau, nunggu kalau produk sebelumnya rusak aja, jadi unfollow sosmed udah paling bener.
    sekarang aku termasuk jarang belanja juga, ada remnya hahaha, dulu juga bisa ngerem sebenernya. Pokoknya ga diboros-borosin

    ReplyDelete
  9. Nah iya banget Fenomena over consumption secara enggak langsung aku pun pernah terdampak atau terpapar, gimana enggak tiap hari yang di liat IG atau socmed hehehe. Beneran deh emang kudu ada prinsip dan keteguhan hati buat membatasi konsumsi informasi terutama terkait kemewahan seseorang pada socmed. Jadi inget dulu suami bilang "Jangan sering-sering liat kemewahan orang di socmed, aku perhatiin kamu suka jadi banding-bandingin lho, bahaya kedepan nya" Yups beneran emang, untung ada yang ingetun dan buru-buru sadar. Sekarang lebih suka pake socmed buat cari ide ediring video, pengambilan foto dan ikutan aneka quiz serta giveaway aja kalau menang ya alhamdulillah kan nambah rezeki.

    ReplyDelete
  10. Setuju kak. Klo scroll medsos ga ada tujuannya kadang ujungnya malah konsumtif atau kurang bersyukur. Intinya gunakan medsos dgn bijak

    ReplyDelete
  11. ini betul banget sih mba saya mersakan sendiri, dulu pas masih kerja kantoran dengan gaji yang lebih dari cukup, terus lihat-lihat barang lucu (padahal ga diperlukan) pasti dibeli. Kalau ga bisa kontrol, bahaya banget pengeluaran itu bisa berjuta-juta, jadi memang betul sekali efek media sosial terhadap perilaku konsumtif itu sangat benar adanya. Kalau diturutin mah ga aakan ada habisnya, sampai nemu titik dimana jenuh dan mulai memilah mana yang penting sama yang enggak, alhmadulillah sekarang mulai terkontrol

    ReplyDelete
  12. Aku pernah ka Dew.. ngerasa ada di titik penasaran pake banget dan ngerasa yakin kalo belanja pakai Paylater, bisa kali yaa.. Apalagi cicilan 12 bulan, misalnya.. Tapi alhamdulillah, aku sadar ka Dew..

    Memang mau alesan investasi atau produktifitas, tetep aja ujungnya over consumption.

    ReplyDelete
  13. Nah ini benerrr...
    Tapi aku juga punya cara ngatasinya: Belajar merasa cukup dan merapihkan sesuatu yang kita punya di rumah.
    Dulu aku suka merasa: 'aku blm punya baju warna ini', tapi ternyata setelah dirapihkan perwarna, justru warna tersebut adalah yang paling banyaaakkk... hahaha...
    Jadilah sampai hari ini barang-barang itu aku rapihkan sesuai warnanya, dan dipakai bergantian (bukan hanya yang ada di bagian atas saja), jadi terasa kalau ternyata pakaian aku banyak dan ngga perlu beli-beli lagi.

    ReplyDelete
  14. Hehe makanya saya nggak ikutin (follow) para artis maupun influencer papan atas karena sadar diri saya nggak bisa menyamai gaya hidup mereka. Walau ya masih sering lewat di beranda atau aku yang kebablasan kepoin akun mereka tapi nggak sampai tergoda untuk beli barang seperti yang mereka punya

    Cuma saya akui kalau buka medsos memang banyak sekali godaannya. Apalagi di tiktok shop gitu, lihat ada yang live, barangnya murce ada ongkir pula auto kalap padahal gak butuh2 amat barangnya. Duh..

    Tulisannya jadi reminder juga buat aku nih.

    ReplyDelete
  15. Aaa setuju banget, nget nget deh Mba..
    Aku pun kmren2 sempet draining krna kebanyakan main socmed, belum lgi klo di wag yg aku ikutin sebar info2 diskonan..
    Bener2 bikin boncos krna fomo dan latah aja.. tpi makin ksini makin sadar dan mencoba utk bisa mindfulness dlam hal apapun

    ReplyDelete
Previous Post Next Post