Paduan Turki dan Jawa di Sanggar Seni Multikultural Pekalongan

Dear Temans,

Gending gamelan menyambut kami ketika menyusuri Jalan Progo, Pekalongan.
Rombongan blogger #FamtripJateng tiba di sebuah pendopo di tengah perkampungan penduduk. Serasa menghadiri kondangan hehe gara-gara alunan gamelannya.

Ya, mengunjungi sanggar seni budaya Pekalongan ini adalah bagian dari kegiatan #FamtripJateng yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan & Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dakuw mengikuti kegiatan tiga hari tersebut bersama-sama teman blogger dari berbagai kota. Tujuan kami adalah Pantura Barat.

"Mana pengantinnya? Jalannya agak bergegas," canda seorang teman.

Sanggar Seni Multikultural Cahaya Kedaton Pekalongan
Lantunan Shalawat Cahaya Kedaton Pekalongan

Kami disambut ramah oleh seorang lelaki keturunan Arab dan dipersilakan masuk ruangan.
Sekelompok lelaki berbagai ras dan usia sedang memainkan gamelan dengan padu di tengah ruangan pendopo yang tidak begitu luas. Kami duduk dan menikmati pertunjukan mereka. Terpukau. Lantunan shalawat berbahasa Jawa diiringi gamelan. Cukup menggetarkan sukma. 

Dua lagu dilantunkan dan kami terpukau.
Setelah itu, perkenalan dimulai.
Pendopo ini adalah tempat berlatih komunitas seni budaya Pekalongan, sanggar budaya multikultural Cahaya Kedaton yang dipimpin oleh Habib Muhammad, lelaki keturunan Arab. Awalnya, mereka adalah mejelis zikir yang berkumpul untuk zikir dan kajian.

Sanggar Seni Multikultural Cahaya Kedaton Pekalongan
berkumpul di Pendopo Cahaya Kedaton Pekalongan
Majelis zikir punya 4 pilar pokok yaitu olah fisik, spiritual, ekonomi dan aspek kesenian untuk hidup yang lebih indah. Untuk aepek seni dan meditasi, sekelompok lelaki ini berlatih tari Whirling Darwis atau yang sering kita sebut tarian sufi diiringi CD.

Kegiatan latihan rutin seni budaya Pekalongan ini ternyata mengundang perhatian Pak Doyo Budi W, dari Dinas Pariwisata Pekalongan untuk bergabung. Menurut Pak Doyo yang juga seorang wiyogo alias penabuh gamelan, kesenian yang ditampilkan para anggota majelis zikir ini menarik untuk ditampilkan. Awalnya, mereka menolak.

"Kami ini kelompok majelis zikir, bukan entertainer,"

Sanggar Seni Multikultural Cahaya Kedaton Pekalongan
Habib Muh didampingi Pak Doyo dari Dinas Pariwisata

Namun karena kegigihan Pak Doyok, mereka akhirnya berlatih untuk tampil di sebuah lomba di PRPP tahun 2010. Tak disangka, seni sendratari yang mereka tampilkan dengan iringan gamelan, mendapat juara 1. Sejak itu, mereka pun serius menekuni seni gamelan ini.

Setiap minggu mereka punya jadwal berlatih seni yaitu Selasa malam. Sedangkan malam lain, mereka berzikir. Mereka berlatih gamelan mulai dari nol. Dilatih oleh Pak Sudarsono yang menekuni dunia karawitan selama 40 tahun lebih. Hingga kini, akhirnya punya seperangkat gamelan, marawis, dan sebuah pendopo untuk latihan. Setiap Selasa malam,  dari setelah Maghrib hingga maksimal pukul 22.00 agar tidak menganggu tetangga.

Sayangnya, mereka kekurangan regenerasi pesinden yang notabene perempuan.
Tinggal satu pesinden perempuan dan sudah sepuh, Ibu Tini. Malam itu, si ibu tidak hadir. Walhasil, pesinden mereka adalah para lelaki. 

Tanggal 03 Mei nanti, mereka akan tampil di TMII.
Karenanya mereka lebih semangat berlatih. Untuk menarik penonton, mereka sering berkolaborasi dengan berbagai seniman. Misalnya dengan pemain band, grup jazz dan berbagai seni tari. Mementaskan sendratari.  Musik dan lagu dipadukan tari-tarian.

Tapi, Habib Muh mengakui jika anggotanya lebih suka memainkan gamelan klasik daripada yang kontemporer. Walaupun bagi sebagian besar penonton itu membosankan karena dianggap bikin mengantuk.

Ia trenyuh ketika suatu hari, akan ada pementasan wayang kulit di lapangan.
Penonton membludak gara-gara ada penyanyi dangdutnya. Ketika pertunjukan dangdut selesai, para penonton bubar. Termasuk panitia! Dan pak dalang ditinggalkan sendiri mementaskan pertunjukannya.

Masyarakat Indonesia saat ini suka segala sesuatu yang berbau luar.
Rasanya keren kalau sudah meniru produk luar.
Makanya, ia dan teman-teman Cahaya Kedaton ingin melestarikan budaya Jawa agar tidak terkikis. Semangat melestarikan kebudayaan ini ternyata begitu mengakar di hati warga Pekalongan.
Ya, seni budaya Pekalongan tumbuh subur.

Bahkan, aku baru tahu kalau Pekalongan dinobatkan oleh UNESCO sebagai kota kreatif dunia berkat batik dan kesenian rakyatnya.
Wow, kemana saja dakuw kok baru tahu? Kudet!

Sanggar Seni Multikultural Cahaya Kedaton Pekalongan
Tari Whirling Darwis Pekalongan

Seperti yang sudah kita ketahui, Pekalongan identik dengan Kota Batik dan Kota Santri.
Dengan dukungan pemerintah Pekalongan, kota ini menguatkan jati diri mereka. Kegiatan seni budaya Pekalongan didukung penuh pemerintah. Terdapat kelompok karawitan di setiap RT. Sanggar Marawis berjumlah kurang lebih 50 kelompok! Bahkan, akan dibangun pusat budaya di Jatayu.

Begitu juga batik. Muatan lokal SD dan SMP di Pekalongan adalah batik. Berdiri pula SMK Tekstil jurusan batik. Bahkan, Universitas Pekalongan punya jurusan S1 program batik! Batik adalah nafas masyarakat Pekalongan.

Ya, Pekalongan sejak dahulu adalah kota pelabuhan.
Dimana mereka terbiasa menerima orang asing di kotanya dengan tangan terbuka.
Pertemuan ini memungkinkan terjadinya akulturasi budaya setempat dengan pendatang.
Berbagai etnis, kutur, usia dan pekerjaan melebur dalam kegiatan seni.

Seperti sanggar Cahaya Kedaton yang anggotanya adalah ARJATI alias Arab, Jawa dan Tionghoa. Hehe. Usia anggota mereka beragam dari 20-an hingga usia setengah baya. Semua disatukan akan kecintaan pada budaya Jawa.

"Ini ada anggota baru kami, baru bergabung sebulan. Tadinya, ia pemain gitar sebuah band." Kata Habib Muh memperkenalkan anak muda di sebelahnya. Ya, nampak betul kecintaan pemuda itu pada gamelan. Setiap musik gamelan diperdengarkan, ia memejamkan mata khusyuk menikmati *aih, eyke stalking brondong haha.

Kini, anggota sanggar ini berjumlah 35 orang dan semuanya bisa menari.
Sejak mereka berlatih gamelan, tugas pun dibagi-bagi ada yang main alat musik, ada yang menari. Hikmahnya, sejak menjadi komunitas seni, persaudaraan mereka makin erat. Ya, karena musik itu padu. Tidak bisa bunyi sendiri-sendiri. Tak ada yang lebih penting. Jika bersama-sama, akan menghasilkan harmoni indah.

Tak lama kemudian, Habib Muh mempersilakan dua penari maju ke tengah.
Keduanya memakai kostum yang sama. Semacam beskap putih, dengan bawahan semacam rok putih lebar. Mereka mengenakan topi tinggi.

Dakuw pun siap-siap merekam tarian yang bikin penasaran sejak tadi ini.
Aku memencet tombol rekam di ponsel. Ternyata ponselku mati! Kehabisan daya setelah dipakai seharian penuh. Hiks!

Ini nih kalau nggak pernah bawa power bank. Susah sendiri, kan! Momen paling berkesan jadi terlewatkan deh. Hiks, kapok..kapok. Padahal solar power bank tuh keren. Nggak perlu dicash tapi cukup dengan tenaga matahari, baterai power bank terisi. Ah, cukup penyesalannya.

Gamelan pun dimainkan.
Lantunan shalawat dalam bahasa Jawa juga lagu Tombo Ati, pun menggema ke seluruh ruangan. Kedua penari yang tadi menangkupkan kedua tangan di dada, mulai berputar dengan gerakan konstan. Tanpa berhenti sejenakpun. Tangan kanan diangkat ke atas, sedangkan tangan kiri diletakkan di bawah. Berputar dan berputar...

Sanggar Seni Multikultural Cahaya Kedaton Pekalongan
Tari Whirling Darwis Cahaya Kedaton Pekalongan

Kami terpukau.
Tidak nampak sekalipun rasa pusing atau lieur di wajah kedua penari.
Yang ada hanyalah ketenangan. Wajah yang damai. 
Hingga musik berhenti, dan penari kembali ke tempatnya barulah kami tersadar, hehe.

"Apa sih maksudnya tari sufi ini?" tanya Bu Suci, dari Dinas Pariwisata.

Tarian ini diciptakan oleh seorang Sufi bernama Jalaluddin Rumi di Turki 800 tahun lalu. Semua atom dikelilingi dan netron. Tangan kanan ke atas melambangkan manusia menerima karunia Allah. Sedangkan tangan kiri di bawah, selalu memberi kepada siapapun.

Hakikatnya, kita manusia yang tidak punya apa-apa.
Hanya fasilitator saja di dunia ini. Sedangkan topi tinggi melambangkan batu nisan yang mengingatkan bahwa ada kematian. Sehingga istilahnya, manusia itu ora keno nduweni. Nggak punya apa-apa.

Tarian Whirling Darwis ini bukan untuk membuat diri kesurupan.
Tapi sebaliknya, meningkatkan kesadaran sehingga sering disebut Whirling Darwis Meditation. Kok bisa ahli seperti itu? Tidak pusing menarikannya? Menurut Habib Muh, kuncinya adalah rajin berlatih dan melakukannya dengan cinta. Tak hanya lelaki, perempuan juga boleh menarikan tari sufi ini. Bahkan, baru-baru ini beberapa polwan Pekalongan berlatih tari sufi di pendopo ini.

Gimana cara bergabungnya?
Syaratnya mudah. Para pemuda yang ingin bergabung, harus punya niat untuk meningkatkan moralitas dan spiritual dirinya. Harus mau mengaji. 

Harapan Habib Muh dan para anggota komunitas, mereka bisa memperluas pendopo ini agar lebih leluasa berlatih seni budaya Pekalongan. Juga agar anak-anak muda makin tertarik untuk mengapresiasi musik dan kebuadayaan asli mereka sendiri. Apalagi kalau para pemuda mau mempelajarinya lebih dalam.

Sanggar Seni Multikultural Cahaya Kedaton Pekalongan
Foto bareng blogger dgn Habib Muh Sanggar Cahaya Kedaton Pekalongan
"Gamelan klasik Jawa itu sangat indah. Kalian terutama pemusik bakal menyesal kalau tidak belajar gamelan. Nanti pengen balik ke dunia lagi kalau sudah mati untuk belajar, hehe," selorohnya, ia mengakui bahwa seorang pemusik akan malas memainkan yang kontemporer kalau sudah kenalan dengan gamelan klasik.

Untuk mengakhiri malam yang indah itu, Habib Muh dan teman-teman memainkan gending klasik Jawa yaitu Ketawang. Ceritanya tentang seorang wanita yang ditinggal kekasihnya. Tak lupa, Pak Doyo ikut berpartisipasi sebagai sinden.



Pendopo Cahaya Kedaton, Gamelan dan Lantunan Shalawat. Kombinasi yang indah di malam yang sangat berkesan ini.

Sumber Foto: Agung Info Tegal, Jojo Info Tembalang
& Pribadi
Sumber video: Jojo Info Tembalang

Dewi Rieka

Seorang penulis buku, blogger dan suka berbagi ilmu menulis di Ruang Aksara

22 Comments

  1. Pas bagian ini sudah nguantuuuuk pol hhh...

    ReplyDelete
  2. Amazing dancer ever. Sufist sejati

    ReplyDelete
  3. Keren yaaa "WIYOGO" penabuh gamelan jadi temen gw yg nama nya wiyogo itu cuman seorang penabuh hahaha

    ReplyDelete
  4. Baru tahu juga kalau pekalongan masuk UNESCo budaya. *plak* terlalu banyak menelan UNESCO India. hehehe

    ReplyDelete
  5. Wau......bagus sekali.....
    pantas beberapa hari gk terlihat.....ternyata keliling Pekalongan

    ReplyDelete
  6. Wah, budaya Turki sudah sampai ke Pekalongan

    ReplyDelete
  7. @wihikan: yup berakulturasi dengan budaya lokal, di pekalongan ada kampung arab, pecinan...sudah gado2 :)

    ReplyDelete
  8. @zulfa: iya say, karena kerajinannya terutama pelestarian batik

    ReplyDelete
  9. @toro: Haha mungkin bapake wiyogo ngepens sama gamelan yak..

    ReplyDelete
  10. @adit: iya, bikin ternganga nontonnya, terutama karena iringan gamelannya. indah.

    ReplyDelete
  11. @mama alma: hihi iya jelong2 hore2 menyusuri pantura barat :)

    ReplyDelete
  12. @mas don: hahaha dirimu teler abis yaa...kecapean memang hari pertama padat banget..

    ReplyDelete
  13. Nyeselll pokoke ya gak jadi ikut FamTrip ini, banyak pengalaman baru yang seru :D

    ReplyDelete
  14. DIsana enak ya mbak banyak acara kesenian seperti itu

    ReplyDelete
  15. Kreasi terbaru warga Pekalongan Tarian ARJATI mbak... Perpaduan budaya Arab Jawa Tionghoa :)

    ReplyDelete
  16. Mba minta link blogger2 lain yg meliput dong.. Thanks

    ReplyDelete
  17. ijin share mbak yu ia :-)

    ReplyDelete
  18. Tanggal 3 Mei nanti tampil di TMII? Wah, mantap iniiiii.

    ReplyDelete
  19. Wah keren ya perkawinan budaya turki sama Pekalongan itu. Emang harus selal cowok ya yang nari kayak gini? Yang dari tukri itu juga setauku selalu cowok yang perform. CMIIW :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. katanya sih ada juga perempuan yang belajar tari ini seperti ibu polwan pekalongan mba efi, tapi memang kebanyakan cowok ya yang perform..termasuk di turkinya..

      Delete
  20. @beby:iya kayak pake rok tapi tetap macho hehehe

    ReplyDelete
Previous Post Next Post