(Cerpen) Desember Cinta di Ungaran



Azka memukul setir Hyundai-nya kesal.
Ini kesekian kalinya ia  berdebat dengan Mama. Dan juga berantem dengan Nada.



Lelah ia lama-lama. ia melirik jam tangannya. Pukul 22.00. dimana dia? Ia menggeleng. Tak sepenuhnya sadar ia mengendarai mobilnya hingga Ungaran, 30-an km dari rumahnya. Seperti judul novel Susanna Tamaro kesukaannya.
Pergilah Kemana Hati Membawamu.
Hm. Dan kenangan membawanya ke kota kecil ini.

Sitta.
Ketika jalanmu bercabang kau berpapasan dengan kehidupan lainnya. Berkenalan atau tidak dengan mereka, terlibat dengan mereka atau membiarkan mereka lewat begitu saja, semua itu tergantung semata-mata pada keputusan sesaat. Meskipun mungkin kau tidak mengetahuinya, hidupmu dan hidup orang-orang yang dekat denganmu dipertaruhkan saat kau memilih untuk berjalan lurus atau berbelok.
Ahhhh! Kenapa disaat seperti ini otaknya malah memikirkan gadis Hulk itu?
Ia terlalu banyak berpikir hingga kepalanya nyeri. Ia teringat kerjaan kantor yang ia tinggalkan begitu saja. Big boss pasti mengamuk nih. Tiara dan Rio pasti kebingungan mencarinya. Ah, kantor yang sadis kenapa tak ada libur ini kan mau tahun baru, orang-orang sibuk bersiap-siap merayakan pergantian tahun.
Kota kecil yang tak jauh dari Semarang ini nampak hidup. Alun-alun mini Ungaran mulai dipenuhi pengunjung. Ada band lokal yang manggung disana.
Disana-sini nampak raut bahagia pasangan dan keluarga  melewatinya. Walau tak merayakan tahun baru, banyak juga yang menikmati liburan akhir tahun. Jalanan padat. Ia bersandar di jok dengan letih. Minuman berkafein yang menemaninya nyaris tandas. Perutnya perih. Ia belum makan sejak siang tadi.
Ia teringat pertengkaran tadi siang.
Dengan Nada, tentu saja kisah klasik. Ia tak menuruti maunya, dan ngambeklah ia.
Gadis imut itu meminta dijemput di kosnya di Yogya. Ya, setiap weekend, biasanya tugas Azka jadi supir pribadi kekasihnya itu. Menjemput di kos dan minggu sore, mengantarnya kembali di kos.
Selama ini, Azka tak keberatan. Toh Semarang-Yogya hanya 3 jam. Ya, bisa molor sih macet setengah edan di Ambarawa setiap weekend. Bikin encok punggung dan pegal kakinya.
Tapi, itu tak menyurutkan semangat Azka menyupir. Ia sering dibilang edan dan mabok oleh teman-teman sekantornya. Ya iyalah, ia bekerja di kantor periklanan dengan ritme gila-gilaan. Kadang lembur hingga dini hari. Dan pada sabtu pagi, hari libur sedunia, mau-maunya ia bangun pagi buta demi menjemput seorang cewek belia?
“Dasar lu dipelet, Ka!” ledek Rio. Saat itu, menolak ikut merayakan keberhasilan proyek mereka di sebuah kafe hip di Semarang.  Ya, gimana dong? Besok pagi ia kudu menjemput Tuan Putri? Nanti kesiangan?
“Iyaa..dia mah dikerjain sama anak ingusan!” ledek Tiara.
Muka Azka merah padam. Mau marah, tapi yang meledeknya adalah Tiara, sahabatnya sepanjang masa.
“Kakak..kakak..belikan es kirm dong,” Tiara menirukan suara Nada yang manja."Kalau tak dibelikan, kita putus saja!"
Rio ngakak di mejanya.
“Biarin, namanya juga kekasih hati..kalian tuuh..masa dari zaman kuliah, teteuup saja pacaran sama guling?” ledek Azka. “Sekalian jadian napa?”
Tiara dan Rio berpandangan, lalu terbahak.
“Mending jomblo gua mah, daripada kayak lu, Ka! Jobside supir pribadi gretongan!” ejek Rio memegang perutnya geli.
“Nggaklaah..hadiahnya pelukan mesra dan kecupan di pipi!”
 Shit! Rutuk Azka dalam hati. Ia kalah telak.
Memang sih, terkadang Nada kelewat manja. Seperti hari ini, Azka kudu lembur di kantor karena ada detlen pekerjaan. Dan ia tidak bisa menjemput kekasihnya itu. Azka menyuruh Nada pulang naik mobil travel saja. Dan, sudah bisa ditebak. Nada ngambek. Ia membanting telepon saat Azka sedang bicara padanya.
“Mas Azka memang egois. Mas kan sudah janji mau menjemput adik. Barang bawaan adik, titipan Karina dari beringharjo kan banyak. Gimana bawanya naik travel?”
“Lho, bukannya egois. Tapi, kan Mas ada kerjaan mendadak. Masa harus ditinggal? Adik senang kalau Mas dipecat ya? Ngapain kamu bawain Karina segala gembolan itu? Mo kulakan? Dikirim saja pakai JNE. Nanti Mas bayar.”
“Mas nyebelin!” jeritnya lalu membanting ponselnya. “Bentar lagi kan ultah adik! Mas pasti lupa ya? Gara-gara kerja melulu!”
Sialan, nggak sopan banget sih. Susah memang pacaran dengan bayi. Sedikit-sedikit ngambek, merajuk, marah. Ya, usia Nada dan Azka memang lumayan jauh. Enam tahun. Kini Azka berusia 25 tahun.
Nada baru semester tiga. Tapi, ia susah mau marah sama si centil itu. Anaknya cantik dan lembut. Pintar banget menyenangkan hati Azka dengan tingkahnya. Kecuali kalau sedang ngambek atau PMS. Ih, Azka bête banget.
Nada itu sahabat Karina, adik semata wayangnya. Mereka sobatan sejak SMP. Jadi, ia sudah terbiasa dengan kehadiran si centil itu dalam hidupnya. Nada dan Karina sering pesta piyama dan menginap di rumah. Dulu, ia malah menganggap cewek itu gadis ingunsan dan manja, bawel seperti Karina adiknya.
Baru saat ini saja, ia menyukainya. Itupun karena Karina gencar menjodohkannya dengan sahabatnya. Karina punya misi ingin menjadikan Nada saudaranya. Jadi, ia sudah menentukan siapa jodoh Azka kelak, harus seseorang yang bermata jeli dan berhidung bangir itu, si Nada.
Usaha Karina nggak tanggung-tanggung. Ia keukeuh diantar kemana-mana oleh Azka, dengan mengajak Nada. Mulai dari berenang, shopping, nonton, hingga kajian di sekolah. Tadinya, Azka ogah. Ngapain ikut-ikutan ABG kemana-mana? Tapi, mamanya memaksa.
“Kamu kan kakaknya. Masa menemani adik ke mal saja nggak mau?” tegur Mama.
“iya, kan sekalian kamu jadi bodyguard dua cewek imut. Nada kan lucu,” goda Papa senyum-senyum.
Duh, Papa ikut-ikutan.
Aduh, jadilah ia bodyguard dua cewek centil dan berisik itu. Dan, mission impossible Karina yang terkenal bertekad kuat pun terwujud. Ia berhasil membuat Nada dan Azka jadian. Itu setahun lalu. Akhir tahun. Beberapa hari sebelum ultah Nada yang ke-18 di bulan Januari.
“Ah, dasar cowok labl!” ledek Tiara, menjerit dan memukuli bahu Azka.“Luluh dia! Katanya nggak mau sama cewek ingusan! Huuh!”
“Yah, kayak nggak tahu Azka playboy cap kuda saja. Ada cewek manis wara-wiri di depannya pakai gaun unyu ya langsung fall in love lah Tiara. Walaupun ia bisa dituntut karena kasus pedofilia dengan saksi Kak Seto,” ledek Rio ngakak puas banget.
Keduanya memang teman sekampus dengan Azka dan kini bekerja di biro iklan yang sama di Semarang.
“Asyem ik! Kalian sendiri yang menyuruhku move on! Giliran aku jadian, kalian malah meledek. Ah, payah!"
Tiara dan Rio berpandangan lalu saling meleletkan lidah. “Gimana ya! Soalnya kaka Azka unyu siih!”
“Yang childish itu sebenarnya siapa?” desah Azka menepuk jidatnya.
Sejak itu, Ia sukses jadi bulan-bulanan Tiara dan Rio. Asyeeeem!

***
Fiuh.
Nada memang terlalu. Kenapa sih kalau ia naik travel bus? Toh tidak sering-sering. Memangnya menderita banget ya naik travel bus itu? Gerutunya.
Ponselnya berbunyi. Ia melirik layarnya. Mama menelpon. Beliau pasti khawatir. Jam segini, Azka belum sampai di rumah. Menelpon atau SMS saja tidak. Biasanya, ia laporan apapun pada Mama.
Ya, Mama. Semalam ia juga sempat berdebat dengan Mama. Gara-gara, hadiah ultah Nada. Karina mengusulkan Azka memberi Nada kado cincin emas. Karena terlalu lebay menurut Azka, ya, seperti cowok mau melamar saja. Ia lalu membelikan Nada kalung emas berbandul hati yang mungil.
Ia dan Karina yang memilihnya di Paragon. Dan..si bawel Karina ternyata keceplosan cerita pada Mama. Dan perempuan tersayangnya itu menegur Azka sebelum ia berangkat ke kantor.
“Mama tahu kamu cinta Nada, Azka. dan kamu serius dengan dia. Tapi, memberi perhiasan ke perempuan yang belum ada ikatan itu mama rasa kurang elok ya. Nanti saja, kalau kamu melamar dia.”
Azka menggeleng. “Mama, itu kan hanya kalung biasa. Bukan perhiasan untuk mengikat janji..Nada ultah dan Karina..”
“Iya, pasti kelakuan adikmu lagi. Selalu jadi kompor. Mama kurang setuju nak. Apalagi, Nada masih terlalu muda. Masih kekanakan. Mama kok melihat kalian kurang cocok..”
Itu lagi. Capek Azka membahasnya. Kenapa Mama tidak kunjung setuju dengan Nada? Padahal, Mama mengenal kekasihnya itu luar dalam. Ia seperti anak sendiri. Azka mencintainya, kenapa Mama tidak rela?
“Ma, Azka itu cinta sama Nada. Salah kalau Azka pengen kasih hadiah yang berharga buat dia?”
Mama menggangguk. “Iya, Mama tahu. Tapi, belum waktunya, Nak. Setelah kamu menjadi suaminya, kamu bisa memberinya apa saja. Malah wajib, tugas kamu sebagai seorang suami.”
Azka mengeluarkan kado mungil itu dari sakunya. Dan meletakkanya di tempat tidur orangtuanya.
“Terserah Mama saja. Nanti Azka cari kado lain. Tapi Ma..Azka ingin Mama merestui dan menerima Nada. Walau manja dan bawel, Azka cinta. Azka tahu Mama masih rindu sosok..”
Mama menghela napas. “Nggak kok..Mama hanya..”
“Dia yang meninggalkan Azka, Ma..jadi jangan mengharapkan dia lagi. Azka sakit hati. Dia cerita lama. nada itu masa depan Azka.”
Mama mengangguk. Bermaksud menggenggam tangan Azka. Tapi Azka malah berbalik dan meninggalkan kamar luas itu.
Ah, Sitta. Bahkan menyebutnya pun Azka enggan. Hatinya mendadak ngilu. Nyaris tiga tahun berlalu. Tapi hatinya masih terasa nyeri.

***
Sitta.
Dengan nama satu-satunyalah itulah, Azka belum move on.
Ya, Sitta itu soulmate Azka. Dulu.
Sebelum jadian, mereka adalah sahabat kental.
Ia beda 180 derajat dengan Nada. Dari penampilan, mereka sudah berbeda. Nada mungil dan langsing sedangkan Sitta tinggi dan atletis. Bukan, Sitta bukan pekerja bangunan. Ia hobi panjat dinding. Mungkin bercita-cita jadi spiderman waktu kecil. Kelayapan pakai tali.  Murmer nggak pakai ongkos taksi.
Kalau Nada lembut dan centil, Sitta itu nggak ada manis-manisnya. Omongannya tegas dan langsung tepat sasaran. Kadang nyelekit. Rio tuh sering banget berantem dengan Sitta. Satunya tukang meledek, satu lagi agak kaku. Cucoklah. Ya, mereka berempat teman segeng di kampus DKV.
Gara-gara sering sekelompok waktu ada tugas, lembur bareng di rumah Azka atau Tiara, mereka jadi soulmate. Padahal, karakternya beda-beda. Karena sering mengobrol pula, ia merasa klik dengan Sitta. Sitta yang sering mengingatkannya agar tidak sembrono, malas makan atau mengerjakan tugas mendekati deadline.
“Jadi contoh adikmu dong, Az. Masa IPK secuil? Maluu..”
“Kamu kayak nenekku aja!”
“Ih. Biarin. Abisnya kamu susah dibilangin..”
“Tapi..”
Sitta menjitaknya. Lalu tersenyum. Tumben, lembut dan manis sekali.
Hati Azka menghangat.
Dan, tak lama kemudian, mereka jadian.
Selama nyaris dua tahun mereka tak terpisahkan.
Mama dan Sitta jadi sahabat kompak. Sepertinya, Mama malah lebih sayang Sitta daripada anaknya sendiri. Mama lebih membela cewek Hulk itu, hehe. Itu panggilan sayang Azka pada Sitta. Habis, dia lebih macho sih? Gimana dong?
Walau sebaya, Sitta lebih dewasa daripada Azka dan teman-teman lainnya. Ia ringan tangan membantu siapapun. Terutama menyediakan kuping untuk mendengarkan curhat sahabat-sahabatnya. Kadang memberikan solusi, tapi lebih banyak memberikan pelukan dan kenyamanan. 
Sitta sering diledek Tiara kalau salah jurusan masuk DKV karena kesukaannya mendengarkan curhat orang alias jadi tong sampah itu. Mestinya, ia masuk jurusan Psikologi, jadi bisa dicurhatin orang terus dibayar, hehe. Atau jadi penulis novel, atau skenario. Dicurhati orang lalu ia tulis. jadi deh duit. Dasar Tiara, cewek matre eh cewek rasional menurut Tiara sendiri siih. 
Sitta bijaksana. Walau terkadang terlalu tegas. Apalagi menghadapi banyolan Rio. Ia sering memarahi Rio.
Saking tidak akurnya mereka berdua, Rio pernah mengoleskan lem super ke tali tambang untuk memanjat Sitta. Gila, gadis itu tergantung-gantung tidak bisa bergerak di tengah dinding! Dasar Rio usil! Sitta marah besar. Tinggallah Azka dan Tiara yang bingung menghadapi perang dingin diantara keduanya. Mau membela siapa? Untunglah, permusuhan itu cair tak lama kemudian. Keduanya tak bisa berantem lama-lama.
"Mestinya Rio dan Sitta yang jadian," celetuk Tiara geli.
Sitta bergidik. "Bisa-bisa kami saling bunuh,"
Azka ngakak. "Iya, lagipula, kamu bisa patah hati, Tiara. Kalau Rio sampai berpaling ke cewek lain."
Tiara mendengus. Dan kalau tak salah lihat, pipinya merona.
Uhuk. Uhuk.
Dan..ketika Azka dan Sitta akan merayakan anniversary dua tahun, mendadak Sitta memutuskannya. Tiada angin atau hujan, mendadak kayak kena stroke. Ia juga berhenti kuliah. Padahal mereka semester enam. Kata Sitta, ia ikut pindah dengan keluarganya ke Kuala Lumpur. Ia anak tunggal dan tak mau berpisah dengan orangtuanya.
         “Tapi, kenapa mesti pindah, Sitta? Kuliahmu sayang ditinggal. Kamu bisa menyusul orangtuamu setelah lulus.”
            Sitta menggeleng kaku. “Aku sudah janji akan ikut, Azka.”
            “Tapi..gimana dengan aku? Mengapa mendadak sekali? Ada apa sebenarnya, cerita padaku..” bisik Azka membelai kepala Sitta.
            Sitta mengibaskan tangan Azka. “Aku rasa..kita sudah selesai, Azka.”
            “Ada apa? Apa salahku?” tanya Azka panic. Berulang-ulang seperti kaset rusak.
            Ia menggeleng. “Aku bosan. Aku butuh suasana baru. Semua ini terlalu menyesakkan buatku.” Katanya ringan.
            Serasa jantung Azka berhenti.
            Kata orang-orang, ia labil. Mudah terpengaruh. Mudah berubah. Itu juga kata Sitta tentang dirinya.
            “Aku sayang kamu, cinta kamu.” Katanya suatu waktu.
            “Alah. Kamu itu kan gampang berubah, darling. Kalau ada cewek manis, pasti kamu lupa deh sama aku,” balas Sitta kalem.
            Dan Sitta salah. Orang-orang salah.
            Tentang Sitta, ia tak pernah berubah. Bahkan hingga kini. Nyaris tiga tahun berlalu. Desember ketika Sitta memutuskannya. Desember ketika ia jadian dengan Nada. Dan Desember ini.
            Hati Azka tetap sama. Hanya mengalun lagu tentang seorang Sitta.
            Rindu yang berlumur benci dan tak mengerti.
“Mungkin ia dijodohkan ya, Azka?” tanya Tiara menerawang. Bahkan ia yang sahabat terdekat Sitta pun tak mengerti. Tak diberitahu.  
Azka menggeleng. Rio yang biasanya heboh pun terdiam.
Mereka bertiga duduk di dalam mobil Azka di tepi Alun-Alun Mini Ungaran yang sepi. Tak ada lagi penjaja kaki lima. Mereka bertiga bengong. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Biasanya, mereka nongkrong berempat selesai bikin tugas di alun-alun ini.  
Menyeruput kopi Pak Hik yang legendaris. Yang antriannya mengalahkan Starbucks.
“Cewek tegaaa!” teriak Azka keluar dari mobil.
Buru-buru Rio dan Tiara keluar meringkus Azka sebelum hansip menangkapnya karena mengganggu keteritban umum.
“Sabar ya Azka…” bisik Tiara iba.
Rio menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

***
I know youre somewhere out there
Somewhere far away
I want you back
I want you back
My neighbours think I’m crazy
But they don’t understand
you’re all I have
You’re all I have…(Bruno Mars)

            Azka memarkir mobilnya di depan sebuah minimarket. Ia berjalan perlahan menuju keramaian Alun-Alun Mini menyambut pergantian tahun. Seorang vokalis berambut cepak menyanyikan lagi Somewhere Out There-nya Bruno Mars. Salah satu lagu dalam Azka's playlist super galau songs ketika mengenang Sitta. Ia menyeret kakinya menuju pedagang makanan kaki lima.
            Sebuah gerobak roti maryam menarik perhatiannya. Sitta suka sekali makanan itu. Ia bahkan jago membuatnya. Azka mendekatinya. Antrian roti maryam nya cukup panjang. Ternyata, gerobak itu tak hanya menjulal roti tapi juga pizza mini dan pancake. Ada pula berbagai kopi, sus dan jus buah. Selembar tikar menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.
            Ia duduk di tepian dan menerima daftar menu yang disodorkan seorang pelayan.
            “Mau pesan apa, Mas?”
            “Apa?” teriak Azka. Ingar-bingar musik menulikan telinganya. Mbak pelayannya membisu.
            Ia mendongak. Pelayan itu menatapnya dengan wajah pasi.
            “Sitta!”
            Gadis itu melarikan diri. Meliuk-liuk lincah ditengah kerumunan orang. Azka mengejarnya.
            “Sittaaa!”
            “Pergi!” teriak gadis itu. “Jangan dekati aku!”
        “Sitta, jangan begitu. Kenapa kamu bisa ada disini?” Azka mengatur napasnya yang tersengal. Ia berhasil memegang lengan gadis itu.
            Sitta menurut ketika Azka menggandeng lengannya,  menyibak kerumunan penonton alun-alun dan mengajaknya ke mobilnya.
            Seperti waktu yang lampau. Mereka berdua. Keheningan yang menyiksa tercipta ketika keduanya duduk di dalam mobil.
            “Ada apa sebenarnya, Sitta? Kenapa kamu bisa disini? Jadi pelayan?’
            Sitta terisak. Mengeelng. “Please, jangan tanya aku. Aku pergi saja ya?”
            Azka menekan tombol kunci pintu.
            “Tidak bisa. Kau berutang penjelasan padaku, Sitta.” Katanya dingin.
            “Nggak ada yang perlu dijelaskan, Azka. Semua sudah terjadi. Kita sudah jalan masing-masing.”
            “Jujur padaku. Walau kita bukan lagi kekasih, setidaknya kau tetap sahabatku, Sitta. Seperti Rio dan Tiara. Kau juga berutang penjelasan pada keduanya. Kau telah mengecewakan kami.”
            Sitta menggeleng. Kulitnya yang mulus kini sedikit legam.
            “Aku malu pada kalian..”
            “Katakan ada apa..”
            Sitta menatap matanya. “Papaku bangkrut, Azka. Utangnya umpuk. Semua asset perusahaannya disita bank dan dilelang. Tak bersisa. Tak ada uang untuk kuliah dan sialnya, beasiswaku dicabut. Kami pindah ke Ungaran, menumpang di rumah Pakde. Sedikit modal kupakai untuk buka usaha roti ini setiap malam berjualan bersama Papa.”
            Azka terbelalak.
            “Kenapa kau tega tak cerita padaku?”
            Sitta menunduk. “Aku tak mampu, Azka. Aku tahu kau takkan berubah. Kau pasti tak berpaling. Tapi, aku tak sanggup menerima bantuanmu, bantuan keluargamu. Mama papamu.”
            “Katanya kita soulmate. Tapi masalah sebesar ini kau malah berpaling..”
          “Maafkan aku..aku bodoh. Selalu menganggapmu childish, emosian tapi aku lebih parah, nggak berani menghadapi kenyataan..”
            Azka termangu.
            “Aku berusaha kembali kuliah, Azka. Aku berusaha mencari beasiswa lagi. Aku takkan kalah dari kalian..”
            “Aku selalu mencintaimu, Sitta. Walau kau menyakitiku. Walau kau melupakanku..”
            Sitta mengangkat wajahnya. Pasi.
            “Kembalilah padaku, Sitta. Aku akan menjagamu, selalu..”
            “Tapi..tapi..”
            “Tak ada tapi..” tukas Azka tegas.
            Sitta tersenyum. Mengangguk pelan.
            3..2..1..Happy New Year!
      Terompet menggema memekakkan telinga. Suara petasan bersahutan. Dentuman kembang api menyalakan angkasa.
            Azka tersenyum membelai kepala Sitta.
Tak ada lagi siluet Nada.
Hanya lega dan bahagia merajai hatinya...
             
           






Dewi Rieka

Seorang penulis buku, blogger dan suka berbagi ilmu menulis di Ruang Aksara

1 Comments

Previous Post Next Post